Di sebuah sudut kota yang tak terlalu ramai, ada seorang lelaki yang dikenal bukan karena harta atau jabatan, melainkan karena kemampuannya merangkai kata menjadi dunia. Ia dijuluki "lelaki pembuat cerita", bukan karena pekerjaannya sebagai penulis profesional, tapi karena setiap ucapannya selalu membawa orang lain hanyut dalam kisah—entah itu nyata atau sekadar imajinasi yang menjelma jadi pelarian. Lelaki itu tak butuh mikrofon atau panggung besar, cukup segelas kopi dan sepasang telinga yang bersedia mendengarkan, maka cerpen bahagia akan mengalir seperti sungai yang tahu ke mana harus bermuara.
Tak ada yang tahu persis dari mana ia mendapatkan semua cerita itu. Beberapa orang bilang, ia menciptakannya dari potongan kehidupan yang diamatinya diam-diam. Ada juga yang percaya bahwa ia menyimpan luka masa lalu yang tak mampu ia sembuhkan, dan dari luka itu tumbuhlah kisah demi kisah. Ia pernah bercerita tentang seorang ibu yang menanam hujan demi bisa menumbuhkan pohon harapan, atau tentang tukang becak yang setiap malam membawa mimpi penumpangnya pulang ke rumah. Setiap kisahnya tak selalu bahagia, tapi selalu ada rasa hangat yang tertinggal setelahnya.
Lelaki pembuat cerita bukanlah tokoh besar dalam sejarah, namun ia punya kekuatan untuk membuat orang merenung. Di era serba cepat dan penuh gangguan, ia hadir seperti jeda yang menyadarkan. Ceritanya bukan hanya menghibur, tapi seringkali menjadi cermin yang membuat pendengarnya melihat diri sendiri—entah sebagai pahlawan, penjahat, atau tokoh yang sedang mencari jalan pulang. Ia tidak menggurui, tidak menghakimi. Ia hanya menyampaikan, seolah berkata, "Ini kisahnya. Kau tentukan sendiri artinya."
Kini, lelaki itu tak selalu tampak. Kadang hanya bayangannya yang tertinggal di warung kopi, di bangku taman, atau di antara tumpukan buku tua. Namun, cerita-cerita yang pernah ia bagi masih hidup dalam ingatan banyak orang. Mungkin itulah takdir seorang pembuat cerita sejati: ia tak butuh dikenal, asal kisahnya bisa hidup lebih lama dari dirinya. Dan bagi siapa pun yang pernah duduk dan mendengarnya, lelaki itu bukan sekadar pembuat cerita—ia adalah penjaga makna di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering lupa bagaimana caranya mendengar.